Welcome to Rahmat Documents

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya!
Semoga info yang ada Bermanfaat bagi anda





KLIK disiNI JUga yah!!!!!

Selasa, 23 Juni 2009

makalah FIlasafat

Makalah Filsafat Pendidikan Islam
ANALISIS FILOSOFIS PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan

Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.

Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.

Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.

Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut.

Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

B. Analisis Filosofis Pendidik

1. Pengertian Pendidik

Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).

Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.

Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

2. Kedudukan Pendidik

a. Pendidik dalam al-Qur’an

Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)

Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9).

Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).

Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.

b. Pendidik dalam Hadis

Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
.....اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ.....
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional

Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.

Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa.

Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga.

3. Tugas Pendidik

Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.

Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.

Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky.

Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151).

4. Karakteristik Pendidik

Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik.

a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri.
e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.

Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik.
i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,

"O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan han itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran."

Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan.

5. Persyaratan Pendidik

Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:
Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT.
2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud.
4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at.
2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu.
8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas.
9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan.
10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.

Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya.
7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya.
9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat.

Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.

C. Peserta Didik

1. Pengertian Peserta Didik

Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.
Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.

2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik

Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:
a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.
c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.
d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang.
e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.
f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.
g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.
h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.
i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.
j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.
k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.
l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.

Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu:
1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.
2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.
3) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.
4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.
5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji.
6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.
7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.
8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.
9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.

3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik

Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal.

a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).
b. Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
d. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).
g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.

Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

D. Rekomendasi

Demikian pentingnya pendidik dan peserta didik, maka kedua komponen ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya masing-masing sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya.

Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip pragmatisme dan materialisme selalu menjadi pertimbangan—terkadang menjadi pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan.
Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi, tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan. Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan; akan tetapi keteladanan harus menjadi kepribadian setiap guru--terlepas apa pun bidang studi yang dibimbingnya—terutama guru yang beragama Islam. Hendaknya, masing-masing guru tersebut telah memiliki kepribadian Islami, sebab keteladanan kepribadian ini sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendidik dalam mempengaruhi pembentukan karakter (caracter bulding) peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam.

Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja, kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".

Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkahlak mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada kecendrungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi.

Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. peserta didik yang dalam pandangan pendidiakn Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya.

Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah Ta’ala.

Jika pendidik dan peserta didik mampu melaksanakan tugas dengan memiliki karakteristik atau sifat-sifat seperti di atas dengan istiqamah, maka proses pembelajaran tidak hanya menyentuh aspek kognitif an sich, tetapi lebih dari itu berbagai potensi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal dalam ridha Allah SWT. Agaknya inilah yang disebut denga keberkahan ilmu, tidak sekedar diketahui, tetapi mempengaruhi kepribadiannya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Penutup

Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mendidik intelektual peserta didik (transfer if knowladge), tetapi pendidik juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik (internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah bagi peserta didiknya.

Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis.
Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

BIBLIOGRAFI
Al-Qur’an dan Tejemahnya

Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Yakarta: Bulan Bintang, 1974

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Hawa, Said, al-Mustakhlash fi Tazkiyatu al-Anfus, Penj. Abdul Amin, dkk, Yakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, cet. ke-VI

Ibn Majah, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Yazid al-Qazwayani, Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar al-Hadis, t.th., Juz I

Ilahi, Fadhl, Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat; Sirah Nabi sebagai Guru Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih, Surabaya: Pustaka eLBA, 2006

al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Penj. H. M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006

an-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Penj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1992
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

____________, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Jakarta: PT RagaGrafindo Persada, 2001

Nizar, Samsul dan al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005, edisi revisi
Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Penj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif
Ramayulis, Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Padang, Diktat, 2007

¬¬¬____________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 200
v

Aliran-aliran dalam filsafat pendidikan

Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
a. Munculnya
Filsafat adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof sepanjang zaman di sepanjang zaman di seluruh dunia. Sejarah pemikiran filsafat yang amat panjang dibandingkan dengan sejarah ilmu pengetahuan telah memperkaya khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat.
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang sama. Perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi para ahli tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatarbelakangi perbedaan-perbedaan tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian, ajaran filsafat tersebut disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu. Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita sebagai suatu aliran, (sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk suatu zaman produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas suatu realita di dalam kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita idealisme yang secara radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.

b. Peranan dan fungsinya
Sebagai llmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan ke seluruh budaya umat manusia. Filsafat telah mempengaruhi system politik, system sosial, system ideology semua bangsa-bangsa. Juga filsafat mempengaruhi system ilmu pengetahuan itu sendiri, yang tersimpul di dalam filsafat ilmu pengetahuan tertentu seperti filsafat hukum, filsafat ekonomi, filsafat kedokteran, filsafat pendidikan dan sebagainya. Akhirnya yang pokok dari semua itu filsafat telah mempengaruhi kepribadian seseorang dalam arti mempenagruhi sikap hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya. Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi sedemikian kuat, sehingga tiap orang menjadi penganut suatu paham filsafat baik sadar maupun tidak, langsung ataupun tidak langsung.
Berdasarkan kenyataan sejarah, filsafat bukanlah semata-mata perenungan, hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang terlepas daripada pra kondisi yang menentang. Paling sedikit, ide-ide filosofis adalah jawaban terhadap problem yang menantang pikiran manusia, jawaban atas ketidaktahuan, atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha memenuhi dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rokhaniah, untuk kematangan pribadi untuk integritas.
Memang diakui, tiap-tiap aliran bukanlah filsafat bukanlah merupakan usaha mengakhiri perbedaan-perbedaan prinsipil dari suatu ajaran. Tetapi justru di dalam kebebasan memilih atau menolak (electicism) dan mengembangkan ide-ide filsafat itu, asas filosofis yang menghormati martabat kemanusiaan setiap orang tidak hanya teoritis adanya, melainkan praktis, dilaksanakan. Inilah satu bukti dan jaminan konkrit kebenaran-kebenaran filsafat yang asasi.

Klasisifikasi aliran filsafat menurut Brameld berdasarkan kesamaan tiap ajaran filsafat di dalam satu sistem tertentu. Demikian pula perbedaan-perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut sama lain menjadi penentu mengapa aliran-aliran tersebut dibedakan. Aliran-aliran tersebut ialah:
1. Essentialism
2. Progressivisme
3. Perennialism
4. Reconstructionisme

c. Aliran progresivisme
Berkembang dalam permulaan abad 20 ini terutama di Amerika Serikat. Progresivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia (filsafat) pendidikan terutama sebgai lawan terhadap kebijaksanaan –kebijaksanaan konvensional yang diwarisi dari abad ke-19.
Progresif (berkembang maju) adalah sifat alamiah, kodrati dan itu berarti perubahan. Dan perubahan berarti suatu yang baru. Sesuatu yang baru sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan sekedar pengertian atas realita yang sebelumnya memang sudah demikian.
Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transition, yakni mampu merubah dalam arti membina kebudayaan baru yang menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan menantang menuju tata hidup social, teknologi dan moral yang supermodern.
Progresivisme mempunyai ciri utama, yaitu mempercayai manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang multikompleks dengan skill dan kekuatan sendiri secara intelegen dengan intelegensi aktif sehingga berarti menghormati martabat manusia, menghormati harga manusia yang member kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada padanya.
Sebagai ciri utama lain progressivisme adalah satu filsafat transisi antara dua konfigurasi kebudayaan yang besar. Progressivisme adalah rasionalisasi mayor daripada suatu kebudayaan, yakni:
(1.) Perubahan yang cepat dari pola-pola kebudayaan Barat yang diwarisi dan dicapai dari masa silam
(2.) Perubahan yang cepat menuju pola-pola kebudayaan baru yang sedang dalam proses pembinaan untuk masa depan


1) Ontologi
Thesis aliran ini tentang ontology, tentng hakikat eksistensi, realita, tersimpul dalam asas-asas sebagai berikut :
1. Asas Hereby atas asas keduniawian
Realita semesta sebagai kosmos dengan istilah “universe” berarti eksistensi yang amat luas, tak terbatas yang berupa kenyataan dalam kehidupan manusia berada dan berlansung.
2. Pengalaman sebagai realitas
a. Pengalaman itu dinamis (adaptasi&readaptasi semua variasi perubahan)
b. Pengalaman itu temporal (berubah dari waktu ke waktu)
c. Pengalaman itu spatial (tempat tertentu)
d. Pengalaman itu pluralitas (terjadi seluas adanya antarhubungan & antaraksi)
3. Pikiran (Mind) sebagai manusia yang unik
Potensi intelegensi ini meliputi ini kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan memecahkan persoalan-persoalan serta berkomunikasi (social dan intelek) dengan sesamanya, mind adalah satu integritas di dalam kepribadian, bukan suatu entity tersendiri.

2) Epistimologi
1. Pengetahuan dan kebenaran
Suatu ide yang dapat dilaksanakan adalah suatu ujian atau test atas kebenaran ide tersebut. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan suatu problem dan merupakan konsekuensi-konsekuensi daripada suatu suatu ide, realita pengetahuan, daya guna dalam hidup. Asas-asas yang berguna bagi efektivitas fungsi berpikir kreatif adalah penyelidikan, makna , pertimbangan, logika dan verifikasi.
2. Pengetahuan itu bersifat pasif
Pengetahuan ialah perbendaharaan informasi, fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, proses, kebiasaan yang terakumulasi di dalam pribadi sebagai hasil proses antaraksi dan pengalaman-pengalaman.
3. Kebenaran bersifat aktif
Kebenaran adalah hasil tertentu darpada pengetahuan, hasil pemilihan alternatif dalam proses pemecahan masalah.
4. Intelegensi dan operasionalisme
Hakikat intelegensi ialah cara-cara eksperimental dari kehidupan dari kehidupan, metode utam antaraksi manusia dengan lingkungannya.
5. Immediate dan Mediate Experience
Immediate Experience = Pengalaman dalam kesatuan dan keseimbangan dengan tenang tanpa tekanan psikologis (tak ada pertentangan antara subyek dengan lingkungan)
Mediate Experience = Pengalaman ketika kehilangan keseimbangan antara subyek dan lingkungan dengan tenang-terganggu-tenang

3) Aksiologi
1. Approach Empiris
Progressivisme mengapproach (mendekati) masalah nilai secara empiris berdasarkan pengalaman real di dalam kehidupan manusia, khususnya kehidupan sehari-hari.
a. Hubungan antara realitas dengan pengetahuan (tak dapat dipisahkan)
Nilai-nilai lahir dari keinginan, dorongan, perasaan, kebiasaan manusia, sesuai dengan watak manusia yang merupakan kesatuan antara factor-faktor biologi dan social dalam kepribadiannya.
Nilai-nilai ialah sesuatu yang ada dalam kehidupan realita dan dapat dimengerti manusia sebagai wujud, pengetahuan, ide.
b. Nilai instrumental dan nilai intrinsic (analog dengan kedudukan knowledge dengan truth)
Nilai instrumental = tiap-tiap nilai yang berguna di dalam kehidupan manusia untuk hidup. Progresivisme tidak dapat membedakan dengan tajam antara nilai instrumental dengan instrinsik.
c. Nilai sosial dan nilai individu
Individu tidak mewarisi nilai-nilai (baik&buruk) dari generasi terdahulu, dari zaman silam yang amat berbeda dengan zaman dan kebutuhan hidupnya. Individu-individu yang bebas; membentuk masyarakat tak mungkin ada masyarakat tanpa indivdu. Karena itu individu yang bebas ini akan memilih nilai-nilai secara bebas.
d. Perkembangan sebagai nilai
Tiap organisme tumbuh, berkembang, baik dalam arti horizontal (hubungannya dengan alam lingkunagn dan kebudayaan sekarang) maupun vertical (perkembangan yang tanpa akhir untuk terus meningkatkan kualitas perkembangan itu dengan penyelidikan-penyelidikan yang mendalam dan continue).

2. Approach Artistik
Artistik adalah suatu nilai yang memperkaya ekspresi manusia dan suatu enersi pendorong kehidupan bagi umat manusia.
a. Nilai estetika (nilai kesenangan dalam pengalaman manusia)
b. Ilmu pengetahuan dan seni (fungsi berpikir dan kreatif)

3. Democracy as Value (Demokrasi sebagai nilai)
Demokrasi adalah sumber utama tumbuhnya filsafat progressivisme. Demokrasi merupakan nilai ideal yang wajib dilaksanakan sepenuhnya dalam semua bidang kehidupan termasuk di dalam seni dan keagamaan.

Aliran Essentialisme

ALIRAN ESSENTIALISME

Bagi aliran ini “Education as Cultural Conservation”, pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan. Karena dalil ini maka aliran essentialisme dianggap para ahli sebagai “Consetvative road to culture”, yakni aliran ini ingin kembali pada kebudayaan lama. Warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya berkehidupan manusia.

Essentialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Kebudayaan yang mereka wariskan hingga sekarang, telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan situasi. Kebudayaan demikian, ialah esensia yang mampu pula mengemban hari kini dan masa depan umat manusia.

Kebudayaan-sumber itu tersimpul dalam ajaran para filosuf-, ahli pengetahuan yang agung, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal, monumental.

Kesalahan dari kebudayaan modern sekarang menurut Essentialisme ialah, kecendrungannya bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah ditanamkan kebudayaan warisan itu. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak kita ingini sekarang, hanya dapat diatasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan, ialah kembali ke jalan yang telah ditetapkan itu. Hanya dengan masa depan kita, masa depan kebudayaan umat manusia.

Pemikir-pemikir besar yang elah dianggap sebagai peletak dasar asa-asas filsafat aliran ini, terutama yang hidup pada zaman klasik : Plato, Aristoteles, Democritus. Plato sebagai bapak objective-idealism adalah pula peletak teori-teori modern dalam Essentialisme Sedangkan Aristoteles dan Democritus, keduanya bapak objective-realisme. Kedua ide filsafat itulah yang menjadi latar belakang thesis-thesis Essentialisme.

Essentialisme merupakan paduan ide-ide filsafat Idealisme dan Realisme. Dan praktek-praktek filsafat pendidikan Essentialisme dengan demikian menjadi lebih kaya dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia sinthesakan itu.

Ide pokok idealisme berprinsip tentang semesta raya dan hakekat sesuatu.

Ide pokok realisme berprinsip realita itu ada jika independen terlepas daripada kesadaran jiwa manusia.

A. Pandangan Ontologi Essentialisme

1. Sintesa ide Idealisme dan Realisme tentang hakekat realita berarti Essentialisme mengakui adanya realita obyektif di samping konsep-konsep pre-determinasi, supernatural dan transcendental

2. Aliran ini dipengaruhi penemua-penemuan ilmu pengetahuan modern baik fisika maupun biologi (Isaac Newton dan Charles Darwin)

3. Penapsiran spiritual atas sejarah

4. Faham makrokosmos dan mikrokosmos

Tujuan filsafat ini ialah untuk membuka rahasia keunikan spiritual kepribadian yang lebih daripada sebagai fenomena alam melainkan sebgai subjek yang mampu mengadakan analisa ilmiah

B. Pandangan Epistemologi Essentialisme

1. Kontraversi Jasmaniah-rokhaniah

Konsekuensi kedua unsur rohani dan jasmani adalh realita kepribadian manusia. Untuk mengerti manusia, baik filosofis maupun ilmiah haruslah melalui kedua asas tersebut, dan approach rangkap itulah pula yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan

2. Approach Idealisme pada Pengetahuan

a. Kita hanya mengerti our own spiritual selves (Rokhani kita sendiri). Rasio manusia adalah bagian daripada raio Tuhan yang Maha Sempurna. Ini menurut profesionalisme.

b. Menurut T.H. Green, approach profesionalisme itu hanya melalui introspeksi. Padahal manusia tak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan (sensation)

c. Bagi Hegel, substansi mental ini tercermin mental ini tercermin pada hukum-hukum logika (mikroskosmos), dan hukum alam (makroskosmos). Hukum dialektika berpikir, berlaku pula hukum perkembangan sejarah dan kebudayaan manusia (Teori dinamis)

d. Dalam filsafat religious yang modern, ada teori yang menyatakan bahwa apa yang menyatakan bahwa apa yang saya mengerti tentang sesuatu adalah karena resonansi pengertian Tuhan.

3. Approach Realisme pada Pengetahuan

a. Menurut teori Associationism

Teori ilmu jiwa asosiasi sesungguhnya dipengaruhi oleh filsafat Empirisme Jhon Locke. Pikiran/ide/isi jiwa adalah asosiasi unsure-unsur penginderaan dan pengamatan. Selain itu, juga menggunakan intropeksi yang dipakai oleh kaum idealis

b. Menurut teori Behaviorisme

Aliran behaviorisme berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku. Sebab manusia sebagai satu organisme adalah totalitas mekanisme yang ditentukan aspek-aspek : susunan syaraf, faal, pengalaman-pengalaman biologis. Bagi behaviorisme, istilah-istilah jiwa dan kesadaran dianggap istilah using yang membingungkan. Manusia ditentukan semata-mata oleh hukum alam, dan tidak seperti idealisme yang menyatakan bahwa manusia seluruhnya ditentukan hukum-hukum rohaniah.

c. Menurut teori Connectionism

Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respons. Hukum utama yang menentukan proses ini ialah “the law of exercise” dan “the law of effect”. Hukum latihan berarti bahwa frekuensi dan recency (baru, waktu yang terakhir) latihan akan memperkuat hubungan-hubungan stimulus response itu. Dan hokum efek, ialah bahwa individu cenderung untuk mengulangi response yang menyenangkan dan mengurangi response yang berakibat tidak menyenangkan.

Connectionisme merupakan dasar-dasar yang kuno dalam behaviorisme dengan teori-teorinya, yaitu :

- Menekankan aspek hereditas dan tingkah laku lebih daripada aspek lingkungan, terutama kemampuan intelegensi

- Menganggap urgen perasaan tentang rasa sakit, yang menentukan response seseorang atas suatu rangsangan

- Masih menggapai istilah thinking, consciousness, mind sebagai suatu realita dalam tingkah laku manusia

4. Tipe Epistemologi Realisme

a. Neorealisme

Pengetahuan diterima dan ditangkap lansung oleh pikiran dari dunia realita. Itu sebabnya neorealisme menafsirkan badan sebagai respon khusus atas ransang yang berasal dari luar dengan sedikit atau tanpa proses intelek

b. Critical realisme

Media antara intelek dengan realita adalah seberkas penginderaan dan pengamatan. Pengetahuan disuguhkan kepada intelek (sadar tahu) melalui proses pengamatan itu.

C. Pandangan Aksiologi Essentialisme

1. Teori Nilai menurut Idealisme

a. Etika Determinisme

b. Teori Sosial Idealisme

Idealisme manusia adalah manifestasi dari keanggotaannya dalam suatu masyarakat pribadi yang spiritual yang diperintah oleh Tuhan sendiri.

c. Teori Estetika Idealisme

Kant mengajarkan : Bahwa manusia menikmati “disinteterest pleasure” (kesenangan yang tulus ikhlas) dalam objek keindahan, dan melupakan keterbatasan pengamatannya. Dan manusia dengan itu sesaat berada dalm kesatuan abadi, Karena keindahan itu bersumber dari Tuhan yang Maha Indah.

Idealisme juga mengakui bahwa keindahan suatu objek terjelma dari keadaan yang tidak indah, dari kegiatan pengalaman sehari-hari sebagai jodoh dari pola-pola harmonis ilmiah

2. Teori Nilai menurut Realisme

a. Etika Determinisme

Semua unsure termasuk manusia adalah dalam satu mata rantai yang tak berakhir dalam kesatuan hukum kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya pada ikatan sebab-akibat kodrati itu dan yang menentukan keadaannya sekarang, baik atau buruk.

Perry, tokoh realisme menganggap nilai sebagai obyek interest individu, suatu teori nilai yang amat mempengaruhi Progresivisme. Dengan demikian, sesuatu itu baik, tingkah laku baik, sesuai dengan minat individu

b. Teori Sosial Realisme

Bahwa ekonomi memerlukan hokum-hukum bagi proses pemasaran perdagangan; social memerlukan struktur organisasi lembaga-lembaga social. Dan politik memerlukan ilmu olitik, pengetahuan tentang kelompok-kelompok social dan kekuatan-kekuatam massa, partai. Tetapi teori ini tidak memberikan asas-asas moral , asas normative bagi cita-cita dan tingkah laku ideal dalam bidang-bidang social, ekonomi, politik. Teori ini hanya menganalisa berdasarkan realita adanya, secara ilmiah yang netral.

c. Teori Estetika Realisme

Realisme menyatakan bahwa seni meliputi kedua jenis realita, yakni keindahan dan kejelekan. Pada prinsipnya tujuan seni ialah membuka tabir kehidupan untuk lebih dimengerti, dihayati baik positif maupun negatif

D. Implikasi Aliran Essentialisme terhadap Pendidikan

1. Teori Korespodensi sebagai dasar

Aliran essentialisme menganggap belajar juga sebagai masalah ontologi (verifikasi kodrat realita yang kita pelajari), epistemologi (realibilitas pengetahuan yang dipelajari) dan axiologi (nilai dari realita dan pengetahuan itu).

Proses belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum tradisional dan guru berfungsi. Dari segi pendidikan, belajar adalah proses korespondensi.

2. Teori Belajar menurut Idealisme

a. Mikrokosmos sebagai subyek

Idealisme sebagai filsafat hidup cenderung mulai dengan manusia sebgai pribadi, sebagai subyek. Subyek bergerak dengan understanding dunia obyektif. Dengan istilah ontologi, dikatakan bahwa mikrokosmos adalah mengerti makrokosmos.

Pendidikan ialah proses melatih daya-daya jiwa (faculties) seperti : pikiran, ingatan, perasaan, baik sebagai memahami realita, nilai-nilai, kebenaran, baik sebagai warisan sosial (kebudayaan), maupun sebagai makrokosmos (alam semesta)

b. Makrokosmos sebagai dasar

Individu memerlukan dasar dalam mana kehidupan sejahtera dan dan harmonis diwujudkan didalam masyarakat dan alam (makrokosmos). Tujuan belajar untuk mengerti pribadi dengan semesta dengan segala konsekuensinya

3. Teori Belajar menurut Realisme

a. Pengaruh Thorndike

Belajar adalah penyesuaian dengan lingkungan dalam pola stimulus dan respon

b. Proses belajar menurut Realisme

Proses belajar ialah hubungan antara pribadi dengan lingkunga

4. Kurikulum Essentialisme

Belajar adalah proses aktif pribadi untuk mengerti dan menguasai “sesuatu”. Materi/isi yang dipelajari itu ialah yang tersimpul dalam istilah kurikulum.

a. Kurikulum Idealisme

- Ulich menekankan “`core-curriculum” termasuk bahasa asing dalam rangka antara hubungan internasional yang lebih erat dan luas dalam masa depan (religious untuk pemahaman semesta raya)

- Home menganggap kurikulum pada dasrnya harus sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak

- Demiashkevich berpendapat bahwa fungsi sekolah terutama sebagai pusat “intelectual training” dan “character building” secara formal diciplin (latihan daya jiwa yang sudah ada sebagai hereditas)

b. Kurikulum Realisme

- Bagley menganggap bahwa kurikulum terdiri atas serangkaian bahan yang mulai dari sederhana (berhitung dan bahasa) sampai kepada yang kompleks

- Thorndike dan Bobbit menekankan kurikulum bagi persiapan tugas anak di dalam kehidupannya.

- Morrison, mengapproach pembinaan kurikulum dengan prinsip-prinsip hukum alam.

c. Peranan Sekolah menurut Essentialisme

Penganut Idealisme barangkali dipengaruhi oleh Rousseau yang menafsirkan demokrasi sebagai perpaduan spiritual pribadi-pribadi suatu bentuk super-person. Sedangkan penganut Realisme memandang demokrasi dalam arti kebebasan individu sebagai lambang kemajuan dalam evolusi makhluk-makhluk.

Tanggung jawab yang tepat utama daripada pendidikan ialah “membina kembali tindakan mengoperkan kebudayaan, warisan sosial, dan membina kemampuan penyesuaian diri individu kepada masyarakat” dengan menanamkan pengertia tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan dan ilmu pengetahuan



Rujukan

Syam, Muhammad Noor. 1986. Filsafat kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila. Surabaya:usaha Nasional