Welcome to Rahmat Documents

Terima kasih anda telah mengunjungi blog saya!
Semoga info yang ada Bermanfaat bagi anda





KLIK disiNI JUga yah!!!!!

Selasa, 20 Oktober 2009

MEMASUKI DUNIA KERJA


A.BEKERJA BAGI ORANG DEWASA
Bekerja merupakan salah satu dimensi kehidupan orang dewasa awal yang sangat penting. Mereka bekerja dengan berbagai alasan, seperti untuk mendapatkan kepuasan pribadi, penghasilan, dan status sosial. Bagi kalangan ekonomi lemah bekerja untuk menda¬patkan penghasilan. Bagi kalangan ekonomi tinggi, tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan kepuasan dan status. Mereka yang bekerja untuk mendapatkan kepuasan dan status adalah pekerja¬pekerja yang profesional atau semi profesional.
Dimensi penting dalam kepuasan kerja ini adalah umur pekerja. Orang yang lebih tua merasa lebih puas dengan pekerjaan yang telah ia miliki dibandingkan dengan orang yang lebih muda.
Kepuasan juga dipengaruhi oleh sikap terhadap pekerjaan. Orang dewasa awal yang matang bersikap menyenangi dan mencintai pekerjaan sebagai sesuatu yang mengairahkan bernilai sosial, dan meningkatkan ego streng nya.
B.PENYESUAIAN TERHADAP KARIR
Bakat sangat menetukan sikap orang terhadap pekerjaanya.pekerjaan seeseorang yang dipilih berdasarkan bakatnya, cenderung disenangi oleh orang yang bersangkutan, sebaliknya pekerjaan yang sedikit kesesuianya dengan bakat yang dimiliki seseorang menyebabkan pekerjaan itu dibenci atau kurang disenangi. Oleh karena itu dalam pemilihan pekerjaan hendaklah dipoertimbangkan terlebih dahulu. Biasanya dilakukan tes terlebih dahulu.

C. PROBLEMA DALAM PENYESUAIAN KARIR

Bagi orang dewasa yang sudah matang dalam pekerjaan mungkin tidak begitu bermasalah. Akan tetapi bagi orang dewasa yang kurang matang dalam bekerja, kurang mencintai pekerjaan, meskipun gajinya lumayan ia mengangap dan merasakan bahwa sulit. Meskipun pekerjaan yang ia lakukan tidak membutuhkan aktivitas fisik dan mental yang berlebihan.


D. PERKEMBANGAN SOSIAL
Dalam perkembangan sosial dewasa awal terjadi pendekatan sosial untuk memilih jodoh. Hal ini ditandai oleh tercapainya ke¬mampuan membina hubungan yang sangat akrab dengan lawan jenis, misalnya "berpacaran". Sebaliknya ada orang yang meng¬alami isolasi, yang ditandai oleh ketidakmampuan membina ke¬akraban dengan lawan jenis, merasa takut akan ditolak, tidak memiliki identitas diri, narcisisme yang berlebihan yang kesemua¬nya menghalangi orang itu untuk membina keakraban dengan orang lain, khususnya lawan jenis (Erikson, 1963).
White (1970) berpendapat bahwa dewasa awal merupakan periode pembinaan hubungan yang mendalam dengan orang lain. Ada dua kecenderungan bentuk hubungan sosial menurut Roberth, yaitu freeing interpersonal relationship dan stabilization identity. Yang dimaksud denganfreeing interpersonal identity adalah orang¬orang yang menunjukkan kematangan sosial yang tinggi, terhindar dari sifat-sifat egosentris, memiliki sifat toleransi yang tinggi, se¬nang menghargai orang lain, dan mampu menerima kritikan dari orang lain. Orang yang mempunyai sifat stabilization identity di¬tandai oleh tingkah laku sosial yang suka mementingkan diri sendiri dan mempertahankan identitas diri, tanpa memperhatikan kepen¬tingan orang lain. Serentak dengan itu, muncul lagi kecenderungan tingkah laku yang disebut dengan deepening of interest, yaitu minat yang lebih terarah kepada satu atau dua minat yang ditekuni dengan serius dibandingkan minat pada masa remaja yang memiliki banyak minat tapi belum serius. Tingkah laku lainnya yang muncul pada periode ini adalah humalization of value, yaitu bertingkah laku beinilai manusiawi. Orang ini memiliki kesadaran yang tinggi ter-hadap nilai kemanusiaan, dan membentuk pandangan nilai tentang cara mencapai tujuan sosial.
Perkembangan sosial pada intinya bersangkutan dengan faktor-faktor pengarah bagi individu dalam aktivitas-aktivitas sosial dan mobilitas sosial.
Semua dewasa awal mesti memiliki posisi dalam kehidupan sosial, entah itu dalam lingkungan sosial secara luas atau lingkungan sekolah, perguruan tinggi, lingkungan keluarganya. Posisi tersebut menantang bagi dewasa awal untuk berperan didalamnya dan mengadakan aktivitas-aktivitas tertentu sesuai dengan peranannya, seperti sebagai pemimpin, pengatur, atau pengikut. Dalam aktivitas-aktivitas sosial itu tadi para dewasa awal bekerja, belajar dan berpengalaman guna menjalin dan menta kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok masyarakat. Dewasa awal pada umumnya punya cita-cita atau arah tujuan hidup bermasyarakat. Disamping itu para dewasa awal pada umumnya menginginkan adanya “ hari esok yang lebih mapan dari sekarang”. Cita-cita, keinginan atau harapan tersebut membawa para dewasa awal pada apa yang dikenal dengan proses mobilitas sosial.
1. Proses Perubahan Dalam Aktivitas Sosial
Proses perubahan dalam aktivitas sosial, bersangkutan dengan perubahan pola hidup berdasarkan pertambahan usia, status perkawinan dan status jabatan.
Berdasarkan pertambahan usia terjadi proses perubahan dalam aktivitas social. Dalam tahun-tahun pertama masa dewasa awal, merupakan masa “kesepian” bagi kebanyakan dewasa pria maupun wanita. Orang dewasa awal baik pria maupun wanita, dalam usia 30 tahun pada umumnya telah mencapai penyesuaian terhadap berbagai perubahan dan memantapkan diri dalam berbagai aktivitas sosial.

Berdasarkan status perkawinan, juga terjadi proses perubahan dalam aktivitas sosial. Bukan saja perubahan status antara masa sebelum berkeluarga dengan masa setelah berkeluarga, melainkan juga adanya perubahan status keorangtuaan yaitu dengan hadirnya anak dalam lingkungan keluarga.
Berdasarkan perubahan status jabatan juga terjadi proses perubahan dalam aktivitas sosial dimana manusia mengalami perkembangan jabatan. Perkembangan jabatan itu sesuai dengan terjadinya perkembangan citra diri seorang dewasa. Perkembangan citra diri ini membawa pula pengaruh bagi frekuensi, intensitas dan corak aktivitas para dewasa awal. Perkembangan jabatan yang semakin maju, membawa pula perkembangan dalam aktivitas social, yang selaras dengan perkembangan citra diri mereka.
Secara umum, perubahan dalam aktivitas social para dewasa awal bergerak dari keadaan “kesepian” dalam masa transisi ke arah mengambil bagian atau partisipasi sosial dan mengembangkan diri dalam aktivitas-aktivitas menuju kematangan sosial.
2. Pola Aktivitas Sosial
Pola aktivitas sosial lebih menunjuk pada tatanan hubungan antara individu-individu dalam aktivitas sosialnya. Ada 3 pola aktivitas sosial yaitu:
a) Pola pengelompokan sosial, merupakan satu tatanan hubungan individu dalam masyarakat yang beranggota besar, luas dan antara anggota satu dan anggota lainnya dapat terjadi hubungan antar anggota secara renggang, tidak akrab dan bahkan tidak saling mengenal.
b) Pola partisipasi, merupakan satu tatanan hubungan individu dalam masyarakat yang beranggota besar, namun antara satu dan lainnya terdapat hubungan saling kenal, rapat walaupun tidak terjadi hubungan kerja yang akrab.
c) Pola persahabatan, merupakan satu jalinan hubungan antara beberapa gelintir individu yang punya tujuan yang didasari bersama, antara dua atau lebih individu punya hubungan kerja sangat akrab.
3. Sasaran-sasaran Penting Aktivitas Sosial
Sasaran aktivitas sosial pada pokoknya terdiri atas tiga hal penting yaitu:
a) Sasaran menjadi pemimpin yaitu timbul dari dorongan untuk mendapatkan prestise sosial, pengembangan citra diri, pengembangan rasa percaya diri dan rasa diri untuk lingkungan sosialnya.
b) Sasaran menjadi populer yaitu sama halnya dengan dorongan untuk menjadi pemimpin yaitu mendapatkan prestise sosial, pengembangan citra diri, pengembangan rasa percaya diri dan mendapat rasa diri lebih berarti terutama popularitas dalam artian positif, berdasarkan adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh si popular.
c) Sasaran Memperoleh status sosial tinggi yaitu merupakan aktifitas sosial dewasa awal yang sangat penting dan umumnya dibandingkan kedua sasaran aktifitas sosial karena menyankut puas atau tidaknya seseorang dalam status sosial di mana dia berada.
4. Batu Loncatan untuk Status yang Lebih Tinggi
Ada tiga jenis batu loncatan yang sering dilalui untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi yaitu:
a) Kesuksesan dan kemajuan jabatan, umumnya dicapai oleh orang dewasa awal dalam usia 30 tahun dan akan berkembang terus sampai mencapai kemantapan jabatan.
b) Mencapai tingkat pendidikan tinggi, merupakan satu batu loncatan sangat penting untuk mobilitas sosial para dewasa awal.
c) Perkawinan dan identifikasi pola tingkah laku sosial, adalah batu loncatan lain yang sering dilalui orang dewasa awal untuk mencapai status sosial tinggi yang umumnya dilakukan oleh status social menengah.
5. Akibat-akibat Psikis Mobilitas Sosial
Pada dasarnya seseorang yang berkecimpung dalam kancah mobilitas soial menghadapi dilemma sosial yang banyak dibandingkan dengan orang-orang yang tidak berkecimpung dalam kancah tersebut. Mobilitas sosial sering kali menimbulkan rasa tertekan (stress) dan ketegangan (strains) dalam suatu keluarga.
5. PERKEMBANGAN MORAL
Moral sering dianggap sebagai prinsip dan patokan berhubungan dengan masalah benar dan salah oleh masyarakat tertentu, dapat pula diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan norma benar salah tersebut. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya.
Tahap-tahap perkembangan moral:
a. Tingkat pra-konvensional yaitu menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
b. Tingkat Konvensional, Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya.
Tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
c. Pasca Konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral
Tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondision


DAFTAR RUJUKAN

Mappiare, Andi. 1983. Psikologi Orang Dewasa.Surabaya: Usaha Nasional
Santrock, Jhon Way. 2002. Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Prayitno, Elida.2006. Psikologi Orang Dewasa. Padang :Angkasa Raya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

harap anda mengisi komentar